PERUBAHAN DAN ANTITESA PERUBAHAN “PARTIAL CHANGES”



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perubahan di dalam semua segi kehidupan manusia dewasa ini terutama disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terjadinya perubahan besar tersebut oleh karena sumber kekuatan dan kemakmuran suatu masyarakat saat ini tidak ditentukan oleh seberapa luas negara kekuasaannya dan seberapa banyak sumber daya alamnya, melainkan dari kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia menjadi penting, karena dari manusia yang unggul ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan mensejahterakan masyarakat.
Organisasi merupakan suatu kumpulan manusia yang dilandasi oleh beberapa kesamaan, saling bekerja sama untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Dalam mencapai tujuan, organisasi selalu melihat dan memperhatikan kondisi lingkungan organisasi baik internal ataupun eksternal. Kondisi eksternal lebih sering untuk berubah dengan cepat, untuk hal tersebut organisasi melakukan pembaharuan dan pengembangan. Dengan harapan, ketercapaian tujuan organisasi dapat ditempuh dengan cara yang efektif dan efisien, dan menjaga survivebilitas organisasi.
Kumpulan manusia sebagai suatu organisasi, telah disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam suatu riwayatnya:
مشل المؤمنين فى تودّهم وتراحمهم وتعاطفهم مشل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمّى والسّهر.
(رواه بحاري ومسلم)
Artinya: Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan hubungan diantara mereka adalah seperti tubuh manusia, yang apabila sakit satu anggotanya maka seluruh anggota yang lainnya akan mendoakannya dengan tidak tidur dan badan yang panas. (H.R. Bukhori dan Muslim)
Maksudnya adalah bahwa persatuan orang-orang beriman dalam suatu ikatan, dianalogikan dengan satu jasad atau tubuh. Sebagai suatu tubuh, maka ia akan selalu berkembang dan dinamis. Perkembangan tubuh manusia tidak terlepas dari perkembangan kondisi manusia tersebut secara internal, namun juga terkait dengan kondisi manusia tersebut secara eksternal dalam hal ini lingkungan sekitarnya. Banyak penelitian dalam psikologi perkembangan tentang perkembangan manusia yang diakibatkan oleh bawaannya dan atau oleh lingkungannya. Yang pada persamaannya, dua hal tersebut memberikan dampak perubahan dalam diri manusia.
Perubahan merupakan keniscayaan. Demikian itu sebagaimana diungkapkan dalam al-Quran surat al-Anfaal ayat 53:
Artinya : (siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S al-Anfaal : 53)
Kata kunci dari ayat tersebut adalah perubahan. Perubahan selalu ada dalam diri manusia, dan oleh karena itu perubahan tersebut menjadi penentu atas nikmat yang diberikan kepadanya dan kelompoknya. Ketika diri atau kelompok mengadakan perubahan, maka kenikmatan akan menghampirinya. Namun sebaliknya, ketika diri atau kaum tersebut menghindar atau enggan terhadap perubahan, maka kenikmatan pun bisa jadi akan dicabut darinya.
Perubahan mempunyai manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, termasuk organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, seperti sekolah, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, dan lain sebagainya. Tanpa adanya perubahan, dapat dipastikan bahwa usia suatu organisasi tidak akan bertahan lama, karena di antara tujuan penting adanya perubahan adalah agar organisasi tidak menjadi statis, melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada bidang yang digelutinya.
Para pemimpin di dunia pendidikan saat ini ditantang untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan, karena perubahan bersifat mendadak (krisis) dan lebih sering dilakukan, seperti kegiatan merger (penggabungan), akusisi, pengambilalihan secara paksa, deregulasi, teknologi baru, sentralisasi dan desentralisasi. Kadang perubahan (change) sangat tidak disukai karena dapat menghancurkan sesuatu yang sudah dalam waktu yang lama berjalan dengan normal.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Apa saja komponen dalam perubahan?
2.        Bagaimana penjelasan mengenai tipologi perubahan?
3.        Apa yang dimaksud dengan antitesa perubahan?
4.        Bagaimana penjelasan mengenai partial changes dalam dunia pendidikan di Indonesia?
C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Mengetahui komponen-komponen perubahan.
2.        Mengetahui penjelasan tentang tipologi perubahan.
3.        Mengetahui antitesa perubahan.
4.        Mengetahui apa saja persoalan pada dunia pendidikan di Indonesia ditinjau dari perubahan yang hanya menyentuh sebagian kecil (partial changes)


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Komponen Perubahan
Menurut Thomas la Bella (1976) komponen perubahan adalah teknologi, institusi sosial dan ideologi. Yang dimaksud dengan teknologi adalah termasuk di dalamnya sumber daya manusia, modal dan anggaran, input-input energi yang masuk dalam organisasi dan memungkinkan terjadinya perubahan. Institusi sosial adalah hubungan-hubungan yang berkaitan dengan pasar, tuntutan luar dan konsumen yang memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Sedangkan ideologi adalah hal yang menentukan sekali dalam jalannya perubahan karena ideologi dapat menjadi kekuatan pendorong atau bahkan penghambat terhadap terjadinya perubahan.


Kreitner dan Kinicki menyebutkan bahwa kekuatan-kekuatan untuk perubahan dapat berasal dari sumber eksternal di luar organisasi dan dari sumber internal. Kekuatan-kekuatan eksternal untuk perubahan berasal dari luar perusahaan. Ada empat kekuatan eksternal kunci untuk perubahan yaitu: (1) karakteristik demografi, (2) kemajuan teknologi, (3) perubahan dasar, dan (4) tekanan sosial dan politik. Sedangkan kekuatan-kekuatan internal untuk perubahan berasal dari dalam organisasi. Adapun sumber kekuatan internal untuk perubahan tersebut adalah masalah/prospek sumber daya manusia, dan perilaku keputusan manajerial.
Robbins menyebutkan enam kekuatan sebagai pendorong perubahan dalam menghadapi lingkungan yang dinamis dan penuh perubahan, yang menuntut organisasi untuk menyesuaikan diri, yaitu: (1) sifat angkatan kerja; (2) teknologi; (3) kejutan ekonomi; (4) persaingan; dan (5) kecenderungan sosial.
Menurut Hussey sebagaimana dikutip oleh Wibowo, terdapat enam faktor yang menjadi pendorong bagi kebutuhan akan perubahan, yaitu: (1) perubahan teknologi yang terus meningkat; (2) persaingan semakin intensif dan menjadi lebih global; (3) pelanggan semakin banyak tuntutan; (4) profil demografis negara berubah; (5) privatisasi bisnis milik masyarakat berlanjut; dan (6) pemegang saham minta lebih banyak nilai.
Menurut Benninton, faktor-faktor yang mendorong perubahan adalah (1) pertumbuhan dan sebaliknya; (2) merger dan akuisisi; (3) joint venture; (4) komersialisasi dan privatisasi; (5) kompetisi internasional dan lokal; (6) reformasi peraturan; (7) berubahnya keinginan customer; (8) kemajuan operasional; (9) tawaran pasar yang berbeda; (10) kesepakatan manajerial baru atau ide-ide manajemen baru; dan (11) teknologi baru.
Greenberg dan Baron membagi kekuatan dibelakang kebutuhan dan perubahan pada perubahan terencana dan tidak terencana. Dalam perubahan terencana kekuatan tersebut adalah (1) perubahan dalam produk atau jasa; (2) perubahan dalam urkuran dan struktur organisasi; (3) perubahan dalam sistem administrasi; dan (4) introduksi teknologi baru. Sedangkan perubahan tidak terencana terjadi karena, (1) pergeseran demografis pekerja; (2) kesenjangan kinerja; (3) peraturan pemerintah; (4) kompetisi global; (5) perubahan kondisi ekonomi; dan (6) kemajuan dalam teknologi.
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan dapat terjadi karena faktor internal ataupun eksternal. Selain daripada itu, perubahan juga dapat terjadi dengan rencana ataupun tidak terencana.
Adapun faktor-faktor pendorong perubahan dari berbagai pendapat tersebut adalah; (1) perkembangan teknologi; (2) institusi sosial (perubahan pasar, tuntutan konsumen, perubahan struktur organisasi); (3) idiologi (politik dunia, tekanan sosial dan politik); (4) perubahan demografi; (5) persaingan global; (6) merger dan akuisisi; (7) komersialisasi dan privatisasi; (8) peraturan pemerintah; (9) masalah sumber daya manusia; dan (10) perilaku/keputusan manajerial.
B.       Tipologi Perubahan
Becher dan Kogan membagi perubahan dalam proses dan struktur di pendidikan tinggi dalam dua model yaitu Radical change dan Organic growth. Radical change ditandai dengan perubahan mendasar, cepat, resiko besar, dan komponen luas. Sedangkan, Organic growth ditandai dengan bersifat pertumbuhan organic, perlahan, dan sesuai dengan waktu.
Kreitner dan Kinicki membuat tipologi umum untuk perubahan organisasional dalam tiga bentuk, yaitu; perubahan adaptif, perubahan inovatif, dan perubahan inovatif secara radikal. Perubahan adaptif adalah yang paling rendah dalam hal kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Perubahan inovatif terletak di tengah-tengah dari kontinum kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Sedangkan perubahan inovatif secara radikal adalah di ujung kanan kontinum dari kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Perubahan jenis ini adalah yang paling sulit diimplementasikan dan cenderung menjadi suatu hal yang paling mengancam bagi kepercayaan manajerial dan keamanan pekerjaan karyawan.
Robbins memberikan makna perubahan sebagai membuat sesuatu menjadi lain, dan membedakan perubahan pada prosesnya yaitu terencana dan tidak terencana. Perubahan yang terencana, yaitu suatu kegiatan perubahan yang disengaja dan berorientasi pada tujuan. Perubahan terencana dalam urutan besarnya dibagi menjadi dua, yaitu (1) perubahan urutan pertama bersifat linear dan berkesinambungan. Sedangkan (2) perubahan urutan-kedua adalah perubahan multidimensional, multitingkatan, tidak berkesinambungan, dan radikal yang mencakup pengkerangkaan ulang atas pengandaian mengenai organisasi dan dunia tempat organisasi itu beroperasi.
Hussey membagi jenis perubahan pada dua model yaitu incremental dan fundamental, pada masing-masing darinya didasari atas tingkatan mengenai urgensi dan resistensinya. Dicirikan bahwa perubahan incremental terjadi dengan sendirinya atau melalui evolusi. Namun demikian itu dipengaruhi hubungan antara tingkat urgensi dengan tingkat resistensinya. Bila tingkat urgensi dan tingkat resistensi rendah, maka sifat perubahan menjadi partisipasi ekstensif. Namun bila tingkat urgensinya rendah, tetapi tingakt resistensinya tinggi, maka perubahannya akan bersifatpersuasive”. Tetapi sebaliknya, bila tingkat urgensi tinggi, sedangkan tingkat resistensinya rendah, maka sifat perubahannya adalah partisipasi terfokus. Sedangkan bila urgensi dan resistensi tinggi, maka perubahan dapat bersifat persuasif sampai dengan memaksa”.
Sedangkan perubahan fundamental merupakan perubahan strategi, visioner, dan transformasional. Perubahan ini biasanya besar dan secara dramatis mempengaruhi operasi masa depan organisasi. Dalam perubahan fundamental bila tingkat urgensi tinggi, sedangkan tingkat resistensi rendah, maka sifat perubahan adalah visioner atau karismatik. Sedangkan bila tingkat resistensinya tinggi, maka dapat bersifat visioner atau memaksa. Namun, bila urgensinya pada tingkat kritis dan bila tingkat resistensinya rendah, maka sifat perubahannya visioner atau persuasif. Bila resistensinya tinggi, maka sifat perubahan adalah diktatorial.
Meyerson sebagaimana dikutip oleh Wibowo memperkenalkan Tempered Radical Change. Yaitu perubahan yang dilakukan dengan cara yang sangat drastis sampai pada cara yang melalui adaptasi evolusioner. Dalam pendapatnya, Meyerson mengungkapkan bahwa strategi perubahan merupakan suatu kontinum dari yang sifatnya sangat pribadi (most personal) sampai pada sangat umum (most public). Bentuk perubahan yang terjadi dapat berupa; (1) disruptive self-expression; (2) verbal jujitsu; (3) variable-term opportunism; dan (4) strategic alliance building.
Disruptive self-expression (ekspresi diri bersifat mengganggu) secara pelan-pelan dapat mempengaruhi orang lain. Kadang-kadang yang dilakukan sangat sederhana seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian, atau sikap tertentu secara perlahan mengubah iklim kerja.
Verbal jujitsu (bela diri secara lisan) telah melibatkan kekuatan untuk mengarahkan perubahan situasi. Pekerja yang menerapkan verbal jujitsu bereaksi atas pernyataan yang tidak diinginkan dan mengalihkan menjadi peluang untuk perubahan yang diperhatikan orang lain.
Variable-term opportunism (variable oportunisme) mengubah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sejak lama dan secara kreatif membuka peluang baru. Dalam jangka pendek, berarti menyiapkan kapitalisasi lingkungan. Dan dalam jangka panjang berarti sesuatu yang lebih proaktif.
Strategic alliance building (membangun persekutuan strategis) berarti membangun perserikatan atau kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, akan didapatkan legitimasi, akses pada sumber daya dan kontak, bantuan teknis dan tugas, dukungan emosional dan saran.
Dari berbagai penjelasan tersebut dapat digaris bawahi, bahwa jenis perubahan organic growth dapat dilakukan oleh organisasi dengan tingkat pengembangan berkelanjutan atau continual improvement. Sedangkan, perubahan dengan jenis radical change dapat diimplementasikan pada organisasi dengan keinginan yang mendesak untuk berubah, dan untuk organisasi yang mengadakan merger atau akusisi.
C.      Antitesa Perubahan
Kendala atau masalah yang timbul dari perubahan adalah:
1.        Resistant to change. Penolakan terhadap perubahan, seringkali ketika pimpinan akan melakukan perubahan, ada kelompok dalam organisasi yang menolak degnan berbagai alasan, baik alasan subyektif yang menyangkut pemindahan posisi dan fungsi seorang individu, maupun alasan obyektif. Dalam hal alasan subyektif, ialah keadaan individu atau kelompok dalam organisasi lebih memikirkan posisi dan keuntungan atau kerugiannya. Yaitu pendapat dan response terhadap perubahan didasarkan oleh hitungan pribadi. Sedangkan alasan obyektif, ialah harapan akan perbaikan dan progress secara jangka panjang dan menyeluruh untuk mengejar cita-cita organisasi.
2.        Temporal change. Yaitu perubahan hanya beberapa saat saja, dalam perubahan diperlukan energi untuk melanjutkan perubahan orang-orang dalam organisasi dengan teknologi yang menopangnya. Dengan kata lain, harus ada continous change, dan ada inovasi, itulah sebabnya dibutuhkan energy perubah. Energi perubahan ini dalam bentuk control, juga bisa melalui dukungan sistem informasi dan teknologi, pengawasan teknis maupun terhadap personal juga harus dilakukan, untuk menjamin keberlanjutan perubahan.
3.        Kurangnya ilmu pengetahuan, pergaulan, dan keinginan untuk maju. Ilmu pengetahuan merupakan hal penting dalam membuat suatu perubahan dalam organisasi. Seringkali perubahan disikapi sebagai ancaman. Di sini letak pentingnya ilmu pengetahuan dan pergaulan anggota organisasi, terutama pimpinan. Lemahnya pengetahuan dan pembacaan akan lingkungan serta pergaulan positif, dapat menyebabkan keengganan untuk berubah. Seringkali kita melihat dan merasakan orang orang yang berjiwa penakut, kebanyakan orang kalau tidak tahu ingin menghindar dari segenap resiko, menerapkan manajemen kaku dan lebih mengedepankan manajemen yang tertutup. Seringkali akibat dari mandeknya pengetahuan menjadikan individu yang status quo, yang tidak mau kehilangan posisi, tinggalah sikap jumud, kemandekan.

Robbins mengkategorikan keengganan terhadap perubahan pada dua tingkatan yaitu keengganan individual dan keengganan organisasi. Dalam kategori keengganan individual adalah (1) kebiasaan; (2) keamanan; (3) faktor-faktor ekonomi; (4) rasa takut terhadap yang tidak dikenal; dan (5) pemrosesan informasi selektif. Sedangkan dalam kategori keengganan organisasi adalah; (1) kelembaman struktural; (2) fokus terbatas terhadap perubahan; (3) kelembaman kelompok; (4) ancaman terhadap keahlian; (5) ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang mapan; dan (6) ancaman terhadap sumber daya yang mapan.
Robbins mengemukakan enam taktik dalam menangani keengganan untuk berubah atau bahkan penolakan terhadap perubahan yaitu:
1.        Pendidikan dan komunikasi, yaitu keengganan dapat dikurangi lewat komunikasi dengan para karyawan untuk membantu mereka melihat logika perubahan.
2.        Partisipasi. Sulit bagi individu-individu untuk menolak suatu keputusan perubahan kalau mereka juga berpartisipasi dalam keputusan tersebut. Sebelum melakukan perubahan, mereka yang menentang dapat diajak untuk berpartisipasi dalam proses keputusan.
3.        Kemudahan dan dukungan. Agen perubahan dapat menawarkan sutu deretan upaua pendukungan untuk mengurangi keengganan. Bila rasa takut dan kecemasan karyawan tinggi, penyuluhan dan terapi karyawan, pelatihan keterampilan baru, atau cuti pendek yang dibayar dapat memudahkan penyesuaian.
4.        Perundingan, merupakan suatu cara lain untuk agen perubahan menangani keengganan potensial terhadap perubahan adalah mempertukarkan sesuatu yang berharga untuk mengurangi keengganan itu.
5.        Manipulasi dan kooptasi. Manipulasi mengacu pada upaya pengaruh yang tersembunyi, menghasut dan memutarbalikan fakta untuk membuat fakta itu tampak lebih menarik, menahan informasi yang tidak diinginkan, dan menciptakan desas-desus palsu agar para karyawan menerima suatu perubahan. Sedangkan kooptasi merupakan bentuk manipulasi dan partispasi. Kooptasi berupaya menyuap pemimpin kelompok penolak dengan memberi mereka peran utama dalam keputusan perubahan.
6.        Pemaksaan. Terakhir, pada daftar taktik yaitu pemaksaan, yaitu penerapan ancaman atau kekuatan langsung terhadap para penolak.
Beberapa metode penanganan atas penolakan terhadap perubahan tersebut dapat dilakukan oleh organisasi dalam menggerakkan keengganan terhadap perubahan dalam tindakan penolakan atau perlawanan.
D.      Partial Changes dalam Dunia Pendidikan
Era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan. Sebelum otonomi, pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendikbud). Pemerintah daerah sampai sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah, dan masyarakat di daerah. Era reformasi, paradigma sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah (propinsi dan kabupaten/kota), bahkan juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Sebelum otonomi pendidikan, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan (Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan segi afektif (spiritual, emosional dan sosial) dan psikomotorik (fisik dan seni) kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001)). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup bersama), dan to be (menjadi) kurang ditekankan. Kesadaran akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat peserta didik lebih suka mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi. Setiap mata pelajaran berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum (Jalal, 2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal (2001), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi (being).
Konsep saling keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari bagian-bagian yang lain.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan, dan budaya. Pembelajaran lebih menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan intelligence qoutient (IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional qoutient (EQ) secara integral.
Prinsip “proses menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat penting. Proses itu terus menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
Namun bukan berarti perubahan pengembangan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik tidak lepas dari persoalan. Satu persoalan klasik yang mendera dunia pendidikan di Indonesia adalah begitu mudahnya kurikulum berubah. Sudah menjadi rahasia umum jika ganti periode pemerintahan, ganti menteri pendidikan, maka berubah pula kurikulum pendidikan nasional. Sebagai contoh berubahnya kurikulum KTSP (2006) menjadi kurikulum 2013. Perubahan memang hal yang pasti karena merupakan jalan ke arah yang lebih baik. Namun, kekhawatiran di dunia pendidikan muncul dikarenakan setiap adanya pergantian menteri maka kurikulum pun ikut berubah.
Kurikulum 2013 memang banyak memiliki kelebihan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.        Memiliki konsep yang sudah jelas terhadap lulusan yang ingin dicapai.
2.        Mengemas mata pelajaran menjadi lebih maknawi dalam kehidupan sehari-hari dengan model pembelajaran tematik integratif dan pendekatan saintifik.
3.        Proses pembelajaran murid aktif, guru sebagai fasilitator maupun motivator, semua aspek kehidupan bisa menjadi sumber pembelajaran, serta melahirkan manusia pembelajar.
4.        Melatih anak didik untuk lebih mandiri, kreatif, dan inovatif.
5.        Mendorong pada aspek kreatifitas dan inovasi pada anak didik sebagai upaya pengembangan karakter yang telah tertuang dalam program studi yang ada atau istilah yang paling digembar-gemborkanny yaitu “pendidikan berbasis karakter”
Disamping kelebihan-kelebihan di atas, kurikulum 2013 ternyata menghadirkan persoalan-persoalan yang baru. Perubahan pengembangan pendidikan dari kurikulum sebelumnya (KTSP) jelas hanya menyentuh sebagian program-program pengembangan yang akan dicapai. Kurikulum 2013 memiliki banyak sisi negatif selain penuh kontradiksi. Pertama memiliki tujuan untuk melahirkan manusia yang kreatif, kritis, inovatif, tapi penuh materi yang normatif karena ada penambahan jam belajar agama. Kedua, berharap proses pembelajaran lebih leluasa tapi ada penambahan jam pelajaran.
Ketersediaan sarana dan prasarana akan menentukan mutu pendidikan. Bila selama ini berbagai pembaharuan kurikulum tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, tidak lain adalah karena sarana-prasarana diabaikan, khususnya buku. Untuk melaksanakan kurikulum yang menerapkan empat pilar (learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be), diperlukan berbagai buku sebagai sumber belajar. Tidak hanya buku teks, tetapi juga buku bacaan, buku rujukan dan buku sumber. Karena itu pelaksanaan kurikulum baru tidak dapat hanya diandalkan kepada buku teks. Yang cukup mengagetkan adalah bahwa buku teks akan disiapkan bersamaan dengan penyiapan kurikulum.
Selain itu, tidak semua siswa dan sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mengajarkan siswanya belajar secara aktif dan mandiri. Terutama jika kurikulum ini akan diterapkan di daerah-daerah yang terpencil. Kurikulum 2013 hanya cocok untuk sekolah yang sudah maju dan gurunya punya semangat belajar tinggi, masyarakat yang sudah terdidik, muridnya memiliki kemampuan dan fasilitas setara, serta infrastruktur telekomunikasi dan transportasi sudah merata sehingga tidak menghambat proses. Apalagi, guru di Indonesia pada umumnya malas belajar dan minim rasa ingin tahu. Mayoritas orangtua tidak peduli pada proses belajar sang anak, kemampuan anak dan fasilitas tidak setara, infrastruktur telekomunikasi tidak merata, serta beban guru dan orang tua meningkat.

  

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan dapat terjadi karena faktor internal ataupun eksternal. Selain daripada itu, perubahan juga dapat terjadi dengan rencana ataupun tidak terencana.
Adapun faktor-faktor pendorong perubahan dari berbagai pendapat tersebut adalah; (1) perkembangan teknologi; (2) institusi sosial (perubahan pasar, tuntutan konsumen, perubahan struktur organisasi); (3) idiologi (politik dunia, tekanan sosial dan politik); (4) perubahan demografi; (5) persaingan global; (6) merger dan akuisisi; (7) komersialisasi dan privatisasi; (8) peraturan pemerintah; (9) masalah sumber daya manusia; dan (10) perilaku/keputusan manajerial.
Jenis perubahan organic growth dapat dilakukan oleh organisasi dengan tingkat pengembangan berkelanjutan atau continual improvement. Sedangkan, perubahan dengan jenis radical change dapat diimplementasikan pada organisasi dengan keinginan yang mendesak untuk berubah, dan untuk organisasi yang mengadakan. merger atau akuisisi.
Penolakan terhadap perubahan, seringkali ketika pimpinan akan melakukan perubahan, ada kelompok dalam organisasi yang menolak degnan berbagai alasan, baik alasan subyektif yang menyangkut pemindahan posisi dan fungsi seorang individu, maupun alasan obyektif.
Pembahasan mengenai partial changes dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi pendidikan telah mengubah paradigma pada pengembangan pendidikan itu sendiri. Sebelum otonomi pendidikan, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial. Namun pendidikan pada era reformasi juga ditemukan beberapa persoalan terutama menenai pemabaharuan kurikulum. Perubahan kurikulum memang suatu keniscayaan agar selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Akan tetapi dalam perubahannya meski hati-hati dan harus melalui suatu tahapan dan kajian evaluasi yang mendalam. Karena dampak yang dilakukan dalam perubahan kurikulum akan dirasakan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Jalal, F. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Muchtar, Amin. Al-Quran dan Terjemah. Bandung: Syaamil Quran. 2011.
Nasution, M. Nur. 2010. Manajemen Perubahan. Jakarta : Ghalia Indonesia
P. Robbins, Stephen dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi buku 1. Jakarta: Salemba Empat.
Thoha, Miftah. 2001. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tilaar, H.A.R. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Wibowo. 2007. Manajemen Perubahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: Prenada Media.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "PERUBAHAN DAN ANTITESA PERUBAHAN “PARTIAL CHANGES”"

Posting Komentar