PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan di dalam semua
segi kehidupan
manusia dewasa ini terutama
disebabkan karena
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terjadinya
perubahan besar tersebut oleh karena
sumber kekuatan dan kemakmuran suatu masyarakat saat ini tidak ditentukan oleh seberapa luas negara kekuasaannya dan seberapa banyak sumber daya alamnya, melainkan dari kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia menjadi penting, karena dari manusia yang
unggul ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang
dan mensejahterakan masyarakat.
Organisasi
merupakan suatu kumpulan manusia yang dilandasi oleh beberapa kesamaan, saling bekerja sama untuk
mewujudkan tujuan yang
disepakati bersama. Dalam
mencapai tujuan, organisasi
selalu melihat dan memperhatikan kondisi lingkungan
organisasi baik internal ataupun eksternal. Kondisi eksternal lebih sering untuk berubah dengan cepat, untuk hal tersebut
organisasi
melakukan pembaharuan dan
pengembangan. Dengan harapan,
ketercapaian tujuan organisasi dapat ditempuh
dengan
cara
yang efektif dan
efisien, dan menjaga survivebilitas organisasi.
Kumpulan manusia sebagai suatu
organisasi, telah disampaikan oleh Rasulullah Saw
dalam suatu riwayatnya:
مشل المؤمنين فى تودّهم وتراحمهم وتعاطفهم مشل الجسد إذا اشتكى
منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمّى والسّهر.
(رواه بحاري ومسلم)
Artinya: Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan
hubungan diantara mereka adalah seperti tubuh manusia, yang
apabila sakit satu
anggotanya maka seluruh anggota yang lainnya akan mendoakannya dengan tidak
tidur dan badan yang panas.
(H.R. Bukhori dan Muslim)
Maksudnya adalah bahwa persatuan orang-orang
beriman dalam suatu
ikatan, dianalogikan dengan satu jasad atau tubuh. Sebagai suatu tubuh, maka
ia akan selalu berkembang dan dinamis. Perkembangan tubuh manusia tidak terlepas
dari perkembangan kondisi manusia tersebut secara internal, namun juga terkait
dengan kondisi manusia
tersebut secara eksternal dalam hal ini lingkungan sekitarnya. Banyak
penelitian
dalam psikologi perkembangan tentang
perkembangan manusia yang
diakibatkan oleh bawaannya dan atau oleh
lingkungannya. Yang pada persamaannya, dua hal tersebut memberikan dampak
perubahan dalam
diri manusia.
Perubahan merupakan
keniscayaan.
Demikian itu
sebagaimana diungkapkan dalam
al-Qur’an surat al-Anfaal
ayat 53:
Artinya : (siksaan) yang demikian itu
adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat
yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa
yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui. (Q.S al-Anfaal : 53)
Kata
kunci dari ayat
tersebut
adalah
perubahan. Perubahan
selalu ada dalam diri manusia,
dan
oleh karena
itu
perubahan tersebut menjadi penentu atas nikmat yang diberikan kepadanya dan kelompoknya. Ketika diri
atau kelompok
mengadakan perubahan, maka
kenikmatan akan menghampirinya. Namun
sebaliknya,
ketika diri atau kaum tersebut menghindar atau enggan
terhadap
perubahan, maka kenikmatan
pun bisa jadi akan
dicabut
darinya.
Perubahan
mempunyai manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, termasuk
organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, seperti sekolah, perguruan
tinggi, lembaga pelatihan, dan lain sebagainya. Tanpa adanya perubahan, dapat
dipastikan bahwa usia suatu organisasi tidak akan bertahan lama, karena di
antara tujuan penting adanya perubahan adalah agar organisasi tidak menjadi
statis, melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman, kemajuan
teknologi dan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas pada bidang yang
digelutinya.
Para pemimpin
di dunia pendidikan saat ini ditantang untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan,
karena perubahan bersifat mendadak (krisis) dan lebih sering dilakukan, seperti kegiatan merger (penggabungan), akusisi, pengambilalihan secara paksa,
deregulasi, teknologi baru, sentralisasi dan desentralisasi. Kadang perubahan (change) sangat
tidak disukai karena dapat menghancurkan sesuatu yang sudah dalam waktu yang lama berjalan dengan normal.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja
komponen dalam perubahan?
2.
Bagaimana
penjelasan mengenai tipologi perubahan?
3.
Apa yang
dimaksud dengan antitesa perubahan?
4.
Bagaimana
penjelasan mengenai partial changes dalam dunia pendidikan di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
komponen-komponen perubahan.
2.
Mengetahui
penjelasan tentang tipologi perubahan.
3.
Mengetahui
antitesa perubahan.
4.
Mengetahui apa
saja persoalan pada dunia pendidikan di Indonesia ditinjau dari perubahan yang
hanya menyentuh sebagian kecil (partial changes)
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Komponen Perubahan
Menurut Thomas la Bella
(1976) komponen perubahan adalah teknologi,
institusi sosial dan ideologi. Yang
dimaksud dengan teknologi adalah termasuk di dalamnya sumber daya manusia,
modal dan anggaran, input-input energi yang masuk dalam organisasi dan memungkinkan
terjadinya
perubahan. Institusi sosial adalah hubungan-hubungan yang berkaitan dengan pasar, tuntutan luar dan konsumen yang memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Sedangkan ideologi adalah hal yang
menentukan
sekali
dalam jalannya
perubahan karena ideologi dapat menjadi kekuatan pendorong atau bahkan penghambat terhadap
terjadinya perubahan.
Kreitner
dan Kinicki menyebutkan bahwa kekuatan-kekuatan untuk perubahan dapat berasal
dari sumber eksternal di luar organisasi dan dari sumber internal.
Kekuatan-kekuatan eksternal untuk perubahan berasal dari luar perusahaan. Ada
empat kekuatan eksternal kunci untuk perubahan yaitu: (1) karakteristik
demografi, (2) kemajuan teknologi, (3) perubahan dasar, dan (4) tekanan sosial
dan politik. Sedangkan kekuatan-kekuatan internal untuk perubahan berasal dari
dalam organisasi. Adapun sumber kekuatan internal untuk perubahan tersebut
adalah masalah/prospek sumber daya manusia, dan perilaku keputusan manajerial.
Robbins menyebutkan enam kekuatan sebagai
pendorong perubahan
dalam menghadapi
lingkungan yang
dinamis dan penuh perubahan,
yang menuntut
organisasi untuk menyesuaikan diri, yaitu: (1)
sifat angkatan kerja;
(2) teknologi; (3) kejutan ekonomi; (4) persaingan;
dan (5) kecenderungan sosial.
Menurut Hussey sebagaimana dikutip oleh Wibowo, terdapat enam faktor yang
menjadi pendorong
bagi kebutuhan
akan perubahan, yaitu: (1) perubahan
teknologi yang terus meningkat; (2) persaingan semakin
intensif dan menjadi
lebih global; (3) pelanggan semakin
banyak tuntutan; (4)
profil
demografis negara berubah; (5) privatisasi
bisnis milik masyarakat berlanjut; dan (6)
pemegang saham
minta lebih banyak
nilai.
Menurut Benninton, faktor-faktor yang
mendorong perubahan adalah (1)
pertumbuhan dan sebaliknya; (2) merger dan akuisisi; (3) joint venture; (4)
komersialisasi dan privatisasi; (5)
kompetisi internasional dan lokal; (6) reformasi peraturan; (7) berubahnya keinginan customer; (8)
kemajuan operasional; (9) tawaran pasar yang
berbeda; (10) kesepakatan
manajerial baru atau ide-ide
manajemen baru; dan (11)
teknologi baru.
Greenberg dan Baron membagi kekuatan dibelakang
kebutuhan dan
perubahan pada perubahan terencana dan tidak terencana. Dalam perubahan
terencana kekuatan tersebut adalah (1)
perubahan dalam produk atau jasa; (2) perubahan dalam urkuran dan struktur organisasi; (3)
perubahan dalam sistem administrasi; dan (4)
introduksi teknologi baru. Sedangkan perubahan tidak
terencana terjadi karena, (1) pergeseran demografis pekerja; (2)
kesenjangan
kinerja; (3) peraturan pemerintah; (4) kompetisi global;
(5) perubahan kondisi ekonomi; dan (6) kemajuan
dalam teknologi.
Dari
berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan
dapat
terjadi karena faktor internal ataupun eksternal.
Selain daripada
itu, perubahan
juga
dapat terjadi
dengan rencana ataupun tidak terencana.
Adapun faktor-faktor pendorong perubahan dari
berbagai pendapat tersebut adalah; (1)
perkembangan teknologi; (2) institusi sosial (perubahan pasar,
tuntutan konsumen, perubahan struktur organisasi);
(3) idiologi (politik dunia,
tekanan sosial dan politik); (4) perubahan demografi; (5) persaingan global; (6)
merger dan akuisisi; (7) komersialisasi dan privatisasi; (8) peraturan pemerintah; (9) masalah sumber
daya manusia; dan (10) perilaku/keputusan manajerial.
B.
Tipologi
Perubahan
Becher dan Kogan membagi perubahan dalam proses
dan
struktur di pendidikan tinggi dalam dua model yaitu Radical change dan Organic growth. Radical change ditandai dengan perubahan mendasar, cepat, resiko besar,
dan komponen luas. Sedangkan, Organic growth ditandai
dengan
bersifat pertumbuhan organic,
perlahan, dan
sesuai
dengan
waktu.
Kreitner dan Kinicki membuat tipologi
umum untuk perubahan organisasional dalam tiga bentuk, yaitu; perubahan adaptif, perubahan inovatif, dan perubahan inovatif secara radikal.
Perubahan
adaptif adalah yang
paling rendah dalam
hal kompleksitas,
biaya, dan
ketidakpastian.
Perubahan inovatif terletak di tengah-tengah dari
kontinum kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian. Sedangkan
perubahan inovatif secara
radikal adalah
di ujung kanan kontinum dari kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian.
Perubahan jenis ini adalah yang paling
sulit diimplementasikan dan cenderung menjadi suatu hal yang paling mengancam
bagi
kepercayaan manajerial
dan keamanan
pekerjaan
karyawan.
Robbins
memberikan makna
perubahan sebagai membuat sesuatu menjadi lain, dan
membedakan perubahan
pada prosesnya yaitu terencana dan
tidak
terencana. Perubahan yang
terencana, yaitu suatu kegiatan perubahan yang
disengaja dan berorientasi pada tujuan. Perubahan terencana dalam urutan besarnya dibagi menjadi dua,
yaitu (1)
perubahan urutan pertama bersifat linear dan berkesinambungan. Sedangkan (2)
perubahan urutan-kedua adalah perubahan multidimensional, multitingkatan, tidak berkesinambungan, dan radikal
yang mencakup pengkerangkaan ulang atas pengandaian mengenai organisasi dan dunia tempat organisasi
itu beroperasi.
Hussey
membagi jenis perubahan pada dua model yaitu incremental dan
fundamental, pada masing-masing
darinya didasari atas tingkatan mengenai
urgensi dan resistensinya.
Dicirikan bahwa perubahan incremental terjadi dengan sendirinya
atau melalui evolusi. Namun demikian itu
dipengaruhi hubungan antara “tingkat urgensi dengan tingkat
resistensinya”. Bila tingkat urgensi dan tingkat resistensi rendah, maka sifat
perubahan menjadi “partisipasi ekstensif”. Namun bila tingkat urgensinya rendah, tetapi tingakt resistensinya
tinggi, maka perubahannya akan bersifat “persuasive”.
Tetapi sebaliknya, bila tingkat
urgensi
tinggi, sedangkan tingkat resistensinya
rendah, maka
sifat perubahannya adalah
“partisipasi terfokus”. Sedangkan bila urgensi dan resistensi tinggi, maka perubahan dapat bersifat “persuasif sampai dengan memaksa”.
Sedangkan perubahan
fundamental merupakan perubahan
strategi, visioner, dan transformasional. Perubahan ini biasanya besar dan secara dramatis mempengaruhi operasi masa depan organisasi.
Dalam perubahan fundamental bila tingkat urgensi tinggi, sedangkan tingkat resistensi rendah, maka sifat perubahan adalah visioner atau karismatik. Sedangkan bila tingkat resistensinya tinggi, maka
dapat bersifat visioner atau memaksa. Namun, bila urgensinya pada tingkat kritis dan bila
tingkat resistensinya rendah, maka
sifat perubahannya
visioner atau persuasif. Bila resistensinya tinggi, maka sifat
perubahan adalah
diktatorial.
Meyerson
sebagaimana dikutip oleh
Wibowo memperkenalkan Tempered
Radical Change. Yaitu perubahan yang
dilakukan dengan cara yang sangat drastis sampai pada cara yang
melalui adaptasi evolusioner. Dalam pendapatnya, Meyerson mengungkapkan bahwa
strategi perubahan merupakan suatu kontinum dari yang sifatnya sangat pribadi (most personal)
sampai pada sangat umum (most
public). Bentuk perubahan yang
terjadi dapat berupa; (1) disruptive self-expression; (2) verbal
jujitsu; (3) variable-term opportunism; dan (4) strategic
alliance building.
Disruptive
self-expression (ekspresi diri bersifat mengganggu)
secara
pelan-pelan dapat mempengaruhi orang
lain. Kadang-kadang yang
dilakukan sangat sederhana seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian, atau sikap tertentu
secara perlahan
mengubah
iklim kerja.
Verbal
jujitsu
(bela diri secara lisan) telah melibatkan kekuatan untuk
mengarahkan perubahan situasi. Pekerja yang menerapkan verbal jujitsu bereaksi atas
pernyataan yang
tidak
diinginkan
dan
mengalihkan menjadi
peluang untuk perubahan yang
diperhatikan orang
lain.
Variable-term opportunism (variable
oportunisme) mengubah
sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan sejak lama dan secara kreatif membuka peluang baru.
Dalam jangka
pendek, berarti menyiapkan kapitalisasi lingkungan. Dan dalam
jangka
panjang berarti
sesuatu yang lebih proaktif.
Strategic alliance building (membangun persekutuan strategis) berarti membangun perserikatan atau kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, akan didapatkan legitimasi, akses pada sumber daya dan kontak,
bantuan teknis dan tugas, dukungan emosional dan saran.
Dari berbagai penjelasan tersebut dapat digaris bawahi, bahwa jenis perubahan organic
growth dapat dilakukan oleh
organisasi
dengan tingkat
pengembangan
berkelanjutan
atau continual improvement.
Sedangkan, perubahan
dengan jenis radical change dapat diimplementasikan
pada organisasi dengan keinginan yang mendesak untuk berubah, dan untuk organisasi yang mengadakan merger atau akusisi.
C.
Antitesa
Perubahan
Kendala atau masalah yang
timbul dari perubahan adalah:
1.
Resistant to change. Penolakan terhadap perubahan, seringkali ketika
pimpinan akan melakukan perubahan, ada
kelompok dalam
organisasi yang
menolak degnan berbagai alasan, baik alasan subyektif yang
menyangkut pemindahan posisi dan fungsi seorang individu,
maupun alasan obyektif. Dalam hal alasan subyektif, ialah keadaan individu atau
kelompok dalam organisasi lebih
memikirkan posisi dan keuntungan atau
kerugiannya. Yaitu pendapat dan response terhadap perubahan didasarkan oleh hitungan
pribadi. Sedangkan alasan
obyektif,
ialah harapan akan perbaikan dan progress
secara jangka panjang
dan menyeluruh untuk mengejar cita-cita organisasi.
2.
Temporal change. Yaitu perubahan hanya beberapa saat saja, dalam
perubahan diperlukan energi untuk melanjutkan perubahan orang-orang dalam organisasi dengan teknologi yang
menopangnya. Dengan kata lain,
harus ada continous change, dan ada
inovasi, itulah sebabnya
dibutuhkan energy perubah.
Energi perubahan ini dalam
bentuk control, juga bisa melalui dukungan sistem
informasi dan teknologi, pengawasan teknis
maupun terhadap personal juga
harus dilakukan, untuk menjamin keberlanjutan
perubahan.
3.
Kurangnya ilmu pengetahuan, pergaulan, dan keinginan untuk maju. Ilmu
pengetahuan merupakan hal penting dalam membuat suatu perubahan
dalam organisasi. Seringkali
perubahan disikapi
sebagai ancaman. Di sini letak pentingnya ilmu
pengetahuan
dan pergaulan anggota
organisasi,
terutama pimpinan. Lemahnya pengetahuan dan
pembacaan akan lingkungan serta pergaulan positif, dapat menyebabkan keengganan untuk
berubah. Seringkali
kita melihat dan merasakan orang orang yang berjiwa penakut, kebanyakan orang
kalau tidak tahu ingin menghindar dari segenap resiko, menerapkan manajemen
kaku dan lebih mengedepankan manajemen yang tertutup.
Seringkali akibat dari mandeknya pengetahuan menjadikan individu yang status quo, yang tidak mau
kehilangan posisi, tinggalah sikap jumud, kemandekan.
Robbins
mengkategorikan keengganan terhadap
perubahan pada dua tingkatan yaitu
keengganan individual
dan keengganan organisasi. Dalam kategori keengganan individual adalah (1)
kebiasaan; (2)
keamanan; (3) faktor-faktor
ekonomi; (4) rasa takut terhadap yang tidak
dikenal; dan
(5) pemrosesan
informasi
selektif. Sedangkan dalam kategori keengganan
organisasi
adalah; (1) kelembaman struktural; (2)
fokus terbatas terhadap perubahan; (3) kelembaman kelompok; (4) ancaman terhadap
keahlian;
(5) ancaman terhadap hubungan
kekuasaan yang mapan; dan
(6) ancaman terhadap sumber
daya yang mapan.
Robbins
mengemukakan enam taktik dalam menangani keengganan untuk berubah atau
bahkan penolakan terhadap perubahan yaitu:
1.
Pendidikan dan
komunikasi, yaitu
keengganan dapat dikurangi lewat
komunikasi dengan
para karyawan
untuk membantu mereka melihat logika perubahan.
2.
Partisipasi. Sulit bagi individu-individu untuk menolak suatu keputusan
perubahan kalau mereka juga berpartisipasi dalam keputusan tersebut. Sebelum
melakukan perubahan,
mereka
yang menentang dapat diajak
untuk berpartisipasi dalam
proses keputusan.
3.
Kemudahan
dan
dukungan. Agen
perubahan dapat
menawarkan sutu deretan upaua pendukungan untuk mengurangi keengganan. Bila rasa takut
dan kecemasan
karyawan
tinggi,
penyuluhan dan
terapi karyawan, pelatihan keterampilan baru, atau cuti pendek yang dibayar dapat
memudahkan penyesuaian.
4.
Perundingan,
merupakan suatu cara
lain untuk agen perubahan
menangani keengganan potensial terhadap
perubahan adalah mempertukarkan sesuatu
yang berharga untuk
mengurangi
keengganan
itu.
5.
Manipulasi dan kooptasi.
Manipulasi mengacu pada upaya pengaruh yang tersembunyi, menghasut dan memutarbalikan fakta untuk membuat fakta itu
tampak lebih menarik, menahan informasi yang
tidak diinginkan, dan
menciptakan desas-desus palsu agar
para karyawan menerima
suatu perubahan. Sedangkan kooptasi
merupakan bentuk manipulasi dan
partispasi. Kooptasi berupaya menyuap pemimpin kelompok penolak
dengan memberi mereka peran utama
dalam keputusan perubahan.
6.
Pemaksaan. Terakhir, pada daftar taktik yaitu pemaksaan, yaitu penerapan ancaman atau kekuatan
langsung terhadap
para penolak.
Beberapa
metode penanganan atas penolakan terhadap perubahan tersebut dapat dilakukan oleh organisasi
dalam menggerakkan keengganan terhadap perubahan
dalam
tindakan penolakan atau
perlawanan.
D.
Partial
Changes dalam Dunia Pendidikan
Era otonomi
daerah telah mengakibatkan
terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan. Sebelum otonomi,
pengelolaan pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan
dan pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Kemendikbud). Pemerintah daerah sampai sekolah harus mengikuti dan taat terhadap
kebijakan yang seragam secara nasional, dan petunjuk pelaksanaannya.
Pemerintah daerah dan
sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang sudah
ditetapkan oleh departemen, sekalipun tidak sesuai dengan kondisi, potensi,
kebutuhan sekolah, dan masyarakat di daerah. Era reformasi, paradigma
sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan
sebagian wewenang dan tanggung jawab dari pusat ke daerah
(propinsi dan kabupaten/kota), bahkan juga kepada
sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan kepada rektor,
bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Sebelum otonomi
pendidikan, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi perakitan
(Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi kognitif, sedangkan
segi afektif (spiritual, emosional dan sosial) dan
psikomotorik (fisik dan seni) kurang mendapatkan tekanan (Suparno dalam Jalal (2001)). Akibatnya anak didik kurang berkembang secara menyeluruh. Dalam
pembelajaran yang ditekankan hanya to know (untuk tahu), sedangkan unsur
pendidikan yang lain to do (melakukan), to live together (hidup
bersama), dan to be (menjadi) kurang ditekankan. Kesadaran akan hidup
bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat peserta didik lebih suka
mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah
kebanyakan terpisah-pisah dan kurang berintegrasi. Setiap mata pelajaran
berdiri sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan
itu, setelah reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan
diarahkan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya,
menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif,
produktif, dan kesadaran hukum (Jalal, 2001:5). Menurut Suparno dalam Jalal
(2001), pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang
cirinya adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness),
dan proses menjadi (being).
Konsep saling
keterkaitan mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari
suatu sistem dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak
mungkin suatu bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas
dari bagian-bagian yang lain.
Prinsip
keutuhan menyatakan bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan
bagian-bagiannya. Prinsip keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan
semua segi kehidupan dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara
menyeluruh dan utuh. Maka, segi intelektual, sosial, emosional, spiritual,
fisik, seni, semua mendapat porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih
tinggi dari yang lain sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih
menyeluruh dan memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh
dengan memperhatikan unsur pribadi, lingkungan, dan budaya. Pembelajaran lebih
menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan intelligence qoutient
(IQ), spiritual qoutient (SQ), dan emotional qoutient (EQ) secara
integral.
Prinsip “proses
menjadi” mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin
penuh. Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung
jawab, kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan
sangat penting. Proses itu terus menerus dan selalu terbuka terhadap
perkembangan baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan
pendekatan proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang
sesuai dengan keputusan dan tanggung jawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak
lebih banyak mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya.
Dalam proses ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya
menjadi calon pekerja atau pengisi lowongan kerja.
Namun bukan berarti perubahan
pengembangan pendidikan dari sentralistik ke desentralistik tidak lepas dari
persoalan. Satu persoalan klasik yang mendera dunia pendidikan di Indonesia
adalah begitu mudahnya kurikulum berubah. Sudah menjadi rahasia umum jika ganti
periode pemerintahan, ganti menteri pendidikan, maka berubah pula kurikulum
pendidikan nasional. Sebagai contoh berubahnya kurikulum KTSP (2006) menjadi
kurikulum 2013. Perubahan memang hal yang pasti karena merupakan jalan ke arah yang
lebih baik. Namun, kekhawatiran di dunia pendidikan muncul dikarenakan setiap
adanya pergantian menteri maka kurikulum pun ikut berubah.
Kurikulum 2013 memang banyak
memiliki kelebihan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki konsep yang sudah jelas terhadap lulusan yang ingin
dicapai.
2.
Mengemas mata pelajaran menjadi lebih maknawi dalam
kehidupan sehari-hari dengan model pembelajaran tematik integratif dan
pendekatan saintifik.
3.
Proses pembelajaran murid aktif, guru sebagai fasilitator
maupun motivator, semua aspek kehidupan bisa menjadi sumber pembelajaran, serta
melahirkan manusia pembelajar.
4.
Melatih anak didik untuk lebih mandiri, kreatif, dan
inovatif.
5.
Mendorong pada aspek kreatifitas dan inovasi pada anak didik
sebagai upaya pengembangan karakter yang telah tertuang dalam program studi
yang ada atau istilah yang paling digembar-gemborkanny yaitu “pendidikan
berbasis karakter”
Disamping kelebihan-kelebihan di
atas, kurikulum 2013 ternyata menghadirkan persoalan-persoalan yang baru.
Perubahan pengembangan pendidikan dari kurikulum sebelumnya (KTSP) jelas hanya
menyentuh sebagian program-program pengembangan yang akan dicapai. Kurikulum
2013 memiliki banyak sisi negatif selain penuh kontradiksi. Pertama memiliki
tujuan untuk melahirkan manusia yang kreatif, kritis, inovatif, tapi penuh
materi yang normatif karena ada penambahan jam belajar agama. Kedua, berharap
proses pembelajaran lebih leluasa tapi ada penambahan jam pelajaran.
Ketersediaan sarana dan prasarana
akan menentukan mutu pendidikan. Bila selama ini berbagai pembaharuan kurikulum
tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, tidak lain adalah karena
sarana-prasarana diabaikan, khususnya buku. Untuk melaksanakan kurikulum yang
menerapkan empat pilar (learning to know, learning to do, learning to live
together dan learning to be), diperlukan berbagai buku sebagai sumber belajar.
Tidak hanya buku teks, tetapi juga buku bacaan, buku rujukan dan buku sumber.
Karena itu pelaksanaan kurikulum baru tidak dapat hanya diandalkan kepada buku
teks. Yang cukup mengagetkan adalah bahwa buku teks akan disiapkan bersamaan
dengan penyiapan kurikulum.
Selain itu, tidak semua siswa dan
sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mengajarkan siswanya
belajar secara aktif dan mandiri. Terutama jika kurikulum ini akan diterapkan
di daerah-daerah yang terpencil. Kurikulum 2013 hanya cocok untuk sekolah yang
sudah maju dan gurunya punya semangat belajar tinggi, masyarakat yang sudah
terdidik, muridnya memiliki kemampuan dan fasilitas setara, serta infrastruktur
telekomunikasi dan transportasi sudah merata sehingga tidak menghambat proses.
Apalagi, guru di Indonesia pada umumnya malas belajar dan minim rasa ingin
tahu. Mayoritas orangtua tidak peduli pada proses belajar sang anak, kemampuan
anak dan fasilitas tidak setara, infrastruktur telekomunikasi tidak merata,
serta beban guru dan orang tua meningkat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
makalah di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan
dapat
terjadi karena faktor internal ataupun eksternal.
Selain daripada
itu, perubahan
juga
dapat terjadi
dengan rencana ataupun tidak terencana.
Adapun faktor-faktor pendorong
perubahan dari
berbagai pendapat tersebut adalah; (1)
perkembangan teknologi; (2) institusi sosial (perubahan pasar,
tuntutan konsumen, perubahan struktur organisasi);
(3) idiologi (politik dunia,
tekanan sosial dan politik); (4) perubahan demografi; (5) persaingan global; (6)
merger dan akuisisi; (7) komersialisasi dan privatisasi; (8) peraturan pemerintah; (9) masalah sumber
daya manusia; dan (10) perilaku/keputusan manajerial.
Jenis perubahan organic growth dapat dilakukan oleh
organisasi
dengan tingkat
pengembangan
berkelanjutan
atau continual improvement.
Sedangkan, perubahan
dengan jenis radical change dapat diimplementasikan
pada organisasi dengan keinginan yang mendesak untuk berubah, dan untuk organisasi yang mengadakan. merger atau akuisisi.
Penolakan terhadap perubahan, seringkali ketika
pimpinan akan melakukan perubahan, ada
kelompok dalam
organisasi yang
menolak degnan berbagai alasan, baik alasan subyektif yang
menyangkut pemindahan posisi dan fungsi seorang individu,
maupun alasan obyektif.
Pembahasan
mengenai partial changes dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat
ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi pendidikan telah mengubah paradigma
pada pengembangan pendidikan itu sendiri. Sebelum otonomi
pendidikan, orientasi pengembangan pendidikan bersifat parsial. Namun pendidikan pada era reformasi
juga ditemukan beberapa persoalan terutama menenai pemabaharuan kurikulum. Perubahan kurikulum memang suatu
keniscayaan agar selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Akan tetapi dalam
perubahannya meski hati-hati dan harus melalui suatu tahapan dan kajian
evaluasi yang mendalam. Karena dampak yang dilakukan dalam perubahan kurikulum
akan dirasakan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Jalal, F. 2001. Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Muchtar, Amin. Al-Quran dan Terjemah. Bandung: Syaamil
Quran. 2011.
Nasution,
M. Nur. 2010. Manajemen Perubahan.
Jakarta : Ghalia Indonesia
P.
Robbins, Stephen dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi buku 1. Jakarta: Salemba Empat.
Thoha,
Miftah. 2001. Perilaku Organisasi, Konsep
Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tilaar, H.A.R.
2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Wibowo.
2007. Manajemen Perubahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Winardi,
J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi.
Bandung: Prenada Media.
https://yogapermanawijaya.wordpress.com/2015/01/15/analisis-mengenai-alasan-penundaan-kurikulum-2013/ diakses pada hari Jumat, 27 November 2015 pukul 11.00
WIB.
Belum ada tanggapan untuk "PERUBAHAN DAN ANTITESA PERUBAHAN “PARTIAL CHANGES”"
Posting Komentar