Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid

Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah Al-Qurasyi Al-Adawi Al-Makki Al-Madani.
Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada Ka’ab bin Lu’ay, dia berasal dari Bani Adi, kerabat dari Umar bin Khattab, dan nasab mereka bertemu pada Nufail. Jadi Umar adalah anak dari paman ayahnya.
Sa’id dijuluki Abu Al-A’war. Namun dari sekian banyak anaknya, tidak diketahui ada yang bernama tersebut (Al-A’war). Dia berperawakan tinggi besar dan memiliki banyak bulu ditubuhnya, dalam hal ini ia menyerupai Umar.
Benih-benih kebahagiaan telah mulai disemai ketika ayahnya memberinya nama Sa’id (Kebahagiaan), dan setiap manusia mempunyai keberuntungannya masing-masing dengan namanya. Dan sejarah pun telah menyimpan banyak peristiwa dan perbuatannyaa yang menjamin kebahagiaannyaa di dunia dan akhirat.
Begitu fajar risalah mulai terbit, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyampaikan dakwahnya, dan Sa’id mendengar tentangnya, ia segera mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan menyatakan keislamannya di hadapan beliau. Dengan demikian ia turut bergabung dalam kafilah pertama yang mengemban dakwah dan menyeru kepada kebenaran dan kebaikan.
Keislaman Sa’id merupakan keislaman yang didasari oleh pendidikan yang baik, akal yang cemerlang, dan hati yang terang.
Adapun pendidikan adalah ia tumbuh dalam asuhan Zaid bin Amru bin Nufail, seorang laki-laki bijaksana yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus, meninggalkan berhala-berhala Quraisy, dan menolak agama nasrani dan yahudi yang telah diselewengkan.
Adapun akal yang cemerlang adalah karena ia telah mengetahui dan menyaksikan sendiri kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallamm, juga keindahan pekertinya dan kedudukannya yang terhormat di kaumnya. Kemudian ia menggunakan kecerdasannya untuk menganalisa dakwah dan pokok-pokok ajaran beliau, lalu membandingkannya dengan apa yang telah dicari dan ditunggu-tunggu ayahnya sejak lama, dan ia pun menemukan kebenaran di sana.
Ia pun tidak ragu lagi untuk menyambut dan mengulurkan tangan kanannya memegang tangan kanan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, berserah diri kepada agamanya, menyatakan keimanan kepada risalahnya, dan turut membela dakwahnya.
Sedangkan hati yang terang yaitu ketenangan hati yang ia dapatkan di dalam Islam yang berdiri di atas sikap mentauhidkan Dzat Yang Maha Tinggi. Juga apa yang ia rasakan dalam jiwanya, yang menuntaskan dahaga kerinduannya, dibanding dengan tuhan-tuhan yang terbuat dari batu dan tanah!
Sa’id masuk Islam sejak awal kemunculan dakwah, dan bergabung dengan para pahlawan pengusung panji dakwah yang pertama. Dia sangat menyadari akan beban berat yang diembannya dengan pilihan yang berani tersebut. Dia juga mengetahui ancaman siksaan berat yang telah menunggunya, dan menunggu orang-orang sepertinya yang mengikuti cahaya baru yang muncul di Mekah, tepati di tengah kelamnya kemusyrikan dan kekufuran. Juga terbayang di matanya siksaan kaum nya dari Bani Adi, dan yang terdepan dari mereka adalah Umar bin Khattab yang terkenal dengan kekerasan dan kebengisannya.
Berita keislaman ipar dan adiknya pun sampai ke telinga Umar. Ia segera mendatangi mereka, menghantam mereka dengan kebengisannya, menarik mereka dengan kuat, sebagai penghinaan atas mereka, dan memaksa mereka untuk keluar dari Islam. Namun itu semua justru membuat mereka semakin teguh berpegang kepada agama mereka.
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersamanya mulai memasuki rumah Al-Arqam, madrasah pertama dalam Islam. Dan disanalah, dengan disaksikan Baitullah Al-Haram, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam membacakan kepada mereka Al-Qur’an. Mengayomi mereka dengan petunjuk, pendidikan, dan kekuatan tekadnya yang menjadikan mereka semakin teguh berpegang kepada dakwahnya dan siap mengemban apa yang diamankan kepada para pembawa risalah.
Pijar-pijar cahaya dan sinar kenabian perlahan menyingkirkan kegelapan dari hati Umar. Takdir pun telah berkehendak bahwa yang menyadarkan Umar dari kelengahannya, dan mengembalikannya dari jalan sesat para nenek moyang, adalah keluarga terdekatnya sendiri, yaitu ipar dan adik perempuannya.
Pijaran cahaya pertama adalah saat ia dengan sembunyi-sembunyi mendengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam membaca beberapa ayat suci. Pijaran kedua menyentuh hatinya ketika ia menyaksikan kaum muslimin dan muslimat berangkat hijrah menuju Habasyah. Peristiwa itu mengetuk hatinya, lalu ditambah dengan doa Nabi yang mulia agar Allah menguatkan Islam dan kaum muslimin dengan Umar Radhiyallahu Anhu.
Sa’id terus mendampingi Rasulullah selama masa dakwah yang penuh berkah, dia adalah seorang yang paling pertama memeluk Islam, dia tetap berada di Mekah dan tidak meninggalkannya untuk ke Habasyah atau yang lainnya. Kemudian ia hijrah ke Madinah dan terus mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam di sana sampai kembali kepada Tuhannya.
Kebersamaan yang indah ini telah dilalui Sa’od selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dan kebersamaan tersebut tentunya penuh dengan berbagai peristiwa dan banyak kejadian. Sa;id adalah satu di antara tokoh sahabat  dan yang terkemuka di antara mereka. Namun sebagian besar kitab-kitab referensi sedikit sekali menceritakan kiprah dan prestasinya selama kurun waktu yang cukup panjang tersebut. Sementara pada waktu yang sama kita lihat banyak sahabat lain yang masih di bawah Sa’id dalam hal keutamaannya yang pertama-tama masuk Islam ataupun dalam hal kedudukannya, seluruh sahabat  Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam adalah sosok-sosok terpilih dan terbaik, banyak sekali sumber yang bercerita tentang mereka, dan mereka juga mendapatkan porsi yang sangat banyak dalam lembaran sejarah
Para sejarawan dan penulis biografi tidak memasukkan Sa’id dalam deretan para pahlawan dari kalangan sahabat, ataupun mereka yang tergolong singa-singa perang pada saat berkecamuknya pertempuran. Seperti halnya Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abu Thalhah, dan Abu durjanah. Namun mereka semua sepakat bahwa ia ikut dalam semua peperangan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, ikut berjihad di bawha panji beliau, untuk membela agamanya, mempertahankan dakwahnya, dan cukuplah itu menjadi suatu kehormatan baginya.
Sa’id tidak ikut dalam perang Badar. Namun itu bukan karena keterlambatannya untuk mendapatkan kemuliaan tersebut, tapi karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah mengutusnya untuk menyelidiki berita tentang kafilah Quraisy yang menjadi target. Ia pun segera berangkat. Setelah menyelesaikan misinya, ia kembali ke Madinah untuk melaporkannya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Namun ia mendapatkan beliau telah selesai dari perang Badar. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tetap menghitung perannya dalam perang tersebut juga pahala yang didapatkannya. Karena itulah para sejarawan dan biografer termasuk Al-Bukhari memasukkannya ke dalam golongan yang ikut perang Badar.
Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr, An-Nawawi, Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar, dan imam-imam lainnya berkata, “Dan Sa’id juga turut dalam perang Uhud, perang Khandaq, dan seluruh peperangan lainnya bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.”
Jadi, Sa’id Radhiyallahu Anhu merupakan sahabat yang ikut dalam perang Badar, ikut dalam perang Uhud, melakukan Bai’atur Ridhwan, dan termasuk di antara mereka yang ikut dlam perang yang terjadi saat masa susah, dan menerima kemuliaan dari keterlibatannya dalam seluruh peristiwa tersebut. Sementara keterlibatan dalam setiap peristiwa mempunyai keutamaannya tersendiri yang sangat tinggi. Walaupun buku-buku sejarah tidak mencatan peran dan kiprahnya pada perang tersebut, namun ia akan selalu termaktub dalam catatan para Malaikat yang bertugas untuk mencatat. Sa’id akan menemui Tuhannya dan lembaran-lembaran yang penuh cahaya tersebut, dan selamat untuknya.
Perjalanan Hidup Sa’id telah diwarnai oleh petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang disampingnya selama lebih kurang dua puluh tiga tahun. Kebersamaan yang panjang dan indah tersebut memberikan pengaruh yang sangat baik dalam kehidupan Sa’id. Membentuk kepribadiannya, meninggikan kepribadiannya, membekalinya dengan akhlak yang terpuji, dan ia adalah salah satu dari mereka yang berhasil lulus dengan keikhlasan dan kesucian. Dia termasuk mereka yang terdidik dengan keikhlasan dan kesucian. Terdidik untuk zuhud, menjaga kehormatan diri, bersikap tawadhu’, saling menasihati dalam da’wah, dan konsisten dengan akhlak mulia yang diajarkan Islam.
Sa’id adalah seorang yang berpendirian teguh, berperilaku mulia, sangat wara’, amat menjauhi hal-hal yang berbau syubhat, apalagi yang haram. Dia telah menyimak petunjuk dan perjalanan hidup Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, mendengar langsung hadits-hadits beliau, dan berakhlak dengan akhlak beliau. Dan di antara yang ia dengar dari beliau adalah larangan untuk mengambil sejengkal tanah orang lain yang bukan haknya, dan ancaman yang menakutkan bagi mereka yang melakukannya. Karena itulah ia sangat takut, dan amat menjaga sikap wara’nya untuk jangan sampai mengambil tanah tetangga-tetangganya, baik itu berupa rumah, atau ladang, ataupun bangunan-bangunan lain.
Sa’id adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya. Karena apa yang dilihatnya tentang kesungguhan ayahnya dalam mencari agama, dan keseriusannya untuk mendapatkannya. Juga penantian ayahnya akan kemunculan Nabi yang ditunggu-tunggu, sebagaimana kabar gembira yang diterimanya. Namun ternyata ajal mendahuluinya sehingga tidak sempat mendapatkannya.
Maka ketika Islam datang, Sa’id menginginkan agar ayahnya juga mendapatkan kebaikan yang telah lama ditunggunya tersebut. Maka Sa’id meminta Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk mendoakan ayahnya.
Sa’id telah mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi para khalifah, sahabat, dan ummahatul mukminin. Telah diceritakan sebelumnya sikapnya terhadap Al-Mughirah bin Syu’bah yang saat itu merupakan seorang gubernur. Ketika ia datang, Mughiralah segera menyambutnya, mendekatkannya dan mendudukannya di tempatnya.
Ketika Sa’id wafat, dan para sahabat  diberitahu tentang itu, Ibnu Umar yang sedang bersiap-siap untuk melaksanakan shalat jumat, segera meninggalkannya dan berangkat menuju rumah Sa’id di Aqiq. Setelah itu ia menyelenggarakan jenazahnya bersama yang lain dan kemudian membawanya di atas pundak-pundak mereka menuju Madinah, tempat di mana ia akan dimakamkan.
Perjalanan sahabat  yang mulia ini pun menjadi sempurna, dengan menyatukan seluruh unsur kebaikan, mulai dari mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallamm, senantiasa bersikap zuhud dan wara’, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mencintai kaum muslimin, menolong para sahabat  dan membela mereka, meneruskan perjalanan jihad yang tlah dimulainya sejak di Mekah, dengan berpegang teguh kepada agamanya dan bersabar atas segala siksaan, kemudian keikutsertaannya dalam seluruh peperangan yang diikuti Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, lalu melanjutkannya dengan mengikuti beberapa peristiwa pada masa khulafaur rasyidin.
Sa’id menyamai saudara-saudaranya yang lain dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga dalam banyak keutamaan, sejajar dengan mereka dalam banyak keistimewaan, dan menandingi mereka dalam berlomba menuju kebaikan. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memudahkannya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mulia. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pun memuliakannya dengan memberikannya kabar gembira berupa surga. Dan menyematkan lencana kejujuran kepadanya ketika Jabal Nur bergoyang di bawah kaki mereka.
Sa’id adalah satu di antara kelompok yang pertama kali masuk Islam, dan termasuk salah satu tokoh kaum Muhajirin. Dan Allah telah memberikannya pujian bagi mereka dalam firmannya, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung (QS. At-Taubah [9]: 100)”.
Yahya bin Bukair, Ibnu Numair, Al-Waqidi, Khalifah bin Khayyath, Amru bin Ali, dan beberapa orang lainnya berkata, bahwa Sa’id wafat pada tahun 51 H.
Dan disebutkan dalam riwayat lain pada tahun 52 H. Dan yang betul adalah riwayat pertama.
Al-Mada’ini berkata, “Sa’id meninggal saat berusia tujuh puluh tiga tahun.”
Dan ini tidak benar, karena dengan demikian berarti pada saat Rasul diutus sebagai Nabi ia baru berusia sembilan tahun, dan ini dimentahkan dengan fakta bahwa saat ia masuk Islam pada masa awal kenabian, ia telah menikah. Apakah mungkin seorang anak berusia sembilan tahun telah menikah dan bergabung dengan kafilah dakwah yang akan menanggung berbagai cobaan dan siksaan?! Dan berani menantang Umar sebagaimana yang telah diceritakan pada kisah Islamnya Umar? Seorang anak kecil tidak mungkin dan tidak akan mampu melakukan itu.
Al-Waqidi dan yang lain mengatakan, “Ketika wafat ia berusia tujuh puluh lebih beberapa tahun”
Ini lebih masuk akal. Kalau kita katakan, Bahwasanya Sa’id menikah beberapa waktu sebelum kenabian, saat usianya lima belas tahun, maka saat hijrah usianya adalah dua puluh delapan tahun. Sementara wafatnya adalah pada tahun 51 H. Dengan demikian didapatkan bahwa pada saat wafat, usianya adalah tujuh puluh sembilan tahun. Wallahu A’lam.



Daftar Pustaka:
Asy-Syaikh, Abdus Satar. 2013. 10 Sahabat Yang Dijamin Masuk Surga. Jakarta: Darus Sunnah




Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid"

Posting Komentar