Empat Waktu Orang Berakal: Munajat, Tafakur, Muhasabah dan Mencari Nafkah
“Selayaknya,
orang yang berakal sehat memiliki empat waktu, yaitu waktu untuk bermunajat,
waktu untuk bertafakur, waktu untuk bermuhasabah, dan waktu untuk memenuhi
kebutuhan hidup”. (H.R. Ahmad)
Waktu
itu nikmat yang nyata bagi umat manusia. Namun, terkadang waktu yang Allah
berikan ini kerap dilupakan sehingga yang ada hanyalah waktu menggelinding
tanpa makna.
Maka
pantas ketika Allah bersumpah menggunakan waktu, wa al-’ashr (demi
waktu), Allah melanjutkan dengan kalimat penuh kekuatan (taukid) bahwa seluruh
manusia itu akan rugi. Hal ini karena banyak manusia yang melalaikan waktu
hidupnya. Namun, ada tiga golongan yang dikecualikan mendapat kerugian, yaitu
orang beriman, beramal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran (lihat Q.S. al-‘Ashr!).
Oleh
karena itu, agar terhindar dari kerugian yang nyata, maka Rasulullah dalam
hadits riwayat Ahmad seperti dinukil di awal, memberikan motivasi kepada orang
yang berakal sehat tentang management waktu. Dalam hal ini, waktu mesti
dialokasikan untuk empat hal, yaitu (1) munajat, (2) tafakur, (3) muhasabah,
dan (4) memenuhi hajat hidup.
Pertama,
orang berakal itu semestinya memanfaatkan waktu untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt. (baca: munajat). Caranya, ya sudah pasti beribadah mesti ikhlas dan
benar. Memperbanyak amal untuk bekal menuju hidup yang kekal. Memperbanyak dan
memperikhlas shadaqah. Menghiasi diri dengan akhak mulia. Berbicara yang baik,
tuturnya dan isinya. Dan, seluruh hal yang baik serta nyar’i.
Kedua,
sebagai orang berakal, seperempat waktu itu mesti diuntukkan bertafakur,
memikirkan hidup dan kehidupan. Menafakuri alam semesta dan segala
keindahannya. Plus, memikirkan diri kita sendiri sebagai makhluk fī ahsani
taqwīm, sempurna secara wujud lahiri dan batini. Hasil dari berpikir ini adalah
adanya kesimpulan, “Rabbanā, mā khalaqta hādzā bātilan, subhānaka faqinā
‘adzāban-nār”. Ya Allah, tidaklah Enghkau menciptakan hal ini dengan sia-sia,
jauhkanlah kami dari siksa neraka. Demikian kongklusi bijak hasil tafakur.
Ketiga,
muhasabah merupakan moment penting di kehidupan. “Hisablah dirimu sendiri
sebelum kamu dihisab oleh Allah” tandas Umar bin Khathab. Muhasabah ini penting
sebagai controlling terhadap diri. Karena, terkadang kita sebagai manusia
biasa, lupa akan kesalahan diri. Pepatah “semut di seberang jelas
terlihat, gajah di pelopak mata tidak tampak” pun kerap terjadi. Pandai
bermuhasabah akan membuka pintu kebaikan bagi diri. Sikap bijaksana pun akan
tetap terpelihara.
Keempat,
setiap orang memiliki kewajiban untuk memenuhi hajat hidup. Suami berkewajiban
mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga. Istri pun berkewajiban untuk
memerhatikan kehidupan keluarga, alokasi finansial, pendidikan anak, pelayanan
terhadap suami, dll..
Pada
intinya, seperempat hidup mesti digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup.
Beribadah boleh tekun dan giat, maka mencari dunia pun semestinya tekun dan
giat pula. Ini tiada lain sebagai wasilah beribadah. Shalat saja butuh pakaian
untuk menutup aurat sebagai salah satu syarat sahnya shalat. Sedangkan pakaian
didapat dari hasil membeli atau membuat. Lalu membeli atau membuat sudah pasti
membutuhkan dana. Nah, dana itu didapat dari hasil usaha.
Dalam
hal ini ada kaidah ushul menegaskan, “Al-Amru fi syai`in, amrun bi
wasā`ilihi”, perintah terhadap suatu perkara berarti perintah untuk
menempuh perantara-perantaranya. Perintah beribadah berarti perintah mencari
materi sebagai penyokongnya.

Belum ada tanggapan untuk "Empat Waktu Orang Berakal"
Posting Komentar